Penguatan Kemitraan Usaha Besar dan Industri UKM Dapat Perkuat Perekonomian

Mediabintang.com,Jakarta-Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengamanatkan adanya kemitraan antara usaha skala besar dengan usaha kecil dan mikro (UKM). Dari berbagai pola kemitraan yang ada, kerjasama di bidang hulu dapat memberikan efek lebih besar bagi perekonomian. Baik peningkatan skala UKM hingga penyerapan tenaga kerja yang lebih besar.


Direktur UKM Center (UKMC) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Zahra K. N. Murad menjelaskan, bahwa UU Cipta Kerja memiliki aturan turunan. Di antaranya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. PP itu mengamanatkan kerja sama dunia usaha untuk mengembangkan perekonomian.
Zahra menyebut terdapat beberapa pola kerja sama yang diatur dalam PP dan melibatkan UKM, koperasi, usaha skala menengah, hingga usaha skala besar.
Lanjutnya, dua pola utama yang lazim ditemui dalam praktik usaha di Indonesia. Pola kemitraan atau tidak langsung (indirect) dan pola rantai pasok atau langsung (direct).
Dalam sektor perdagangan umum, pola kemitraan di antaranya berupa penyediaan ruang bagi UKM untuk berjualan. Mekanisme itu lazim ditemui di tempat peristirahatan (rest area), stasiun, bandara, terminal, hingga gerai-gerai waralaba. Pola itu termasuk sebagai salah satu amanat PP Nomor 7/2021.
Lalu, Zahra menjelaskan pola rantai pasok adalah menyertakan UKM dalam rantai pasok (value chain) industri besar. Dicontohkan, salah satu produsen susu anak bekerja sama dengan koperasi dalam penyediaan bahan baku susu sapi, sehingga koperasi yang tergolong UKM itu bisa masuk ke dalam rantai pasok industri skala besar.
"Pola rantai pasok atau direct ini dilakukan di sisi hulu, sedangkan pola kemitraan atau indirect biasanya dilakukan di sisi hilir," ujar Zahra yang menjadi narasumber dalam diskusi FMB9 bertajuk UU Cipta Kerja: Tumbuhkan Pengusaha Muda dan UMKM pada Senin (26/9/2022).
Zahra menjelaskan, perbedaan kedua jenis kerja sama itu adalah keterlibatan UKM dalam bisnis utama (core business) industri besar. Dalam pola kemitraan, UKM yang berjualan di area stasiun atau bandara tidak terlibat langsung dalam bisnis inti perusahaan besar, yakni sektor transportasi.
Pola rantai pasok memungkinkan UKM untuk terlibat langsung dalam proses produksi usaha besar. Menurutnya, manfaat dari pola ini akan lebih besar karena berpotensi membuat UKM naik kelas, hingga mengembangkan skala produksinya menjadi lebih besar.
"Dampak ekonomi dari pola kemitraan hilir belum cukup maksimal dibandingkan hulu. Saya tidak bilang bahwa pola kemitraan hilir ini suatu hal buruk. Namun, ini menjadi sebagai peluang, bagaimana kita support integrasi kemitraan hulu dan hilir dari industri besar dengan UKM," tambahnya.
Zahra menyebut bahwa kemitraan di sisi hulu melalui pola rantai pasok memang relatif sulit terbentuk. Karena sejumlah syarat yang harus dipenuhi UKM agar bisa bekerja sama dengan industri besar. Seperti kemampuan menjaga produksi, kesiapan pembiayaan, hingga kesanggupan untuk menjaga kualitas produk dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, menurut Zahra, seluruh pihak mulai dari pemerintah, sektor swasta, komunikasi, hingga akademisi seperti UKMC FEB UI harus terlibat dalam upaya mengembangkan kapasitas UKM dan meningkatkan kerja sama industri.
 
UU CIPTA KERJA
Zahra menyebut bahwa UU Cipta Kerja mengamanatkan kerja sama untuk mengembangkan perekonomian, salah satunya dengan memberikan kemudahan bagi pelaku UKM dalam mengajukan nomor induk berusaha (NIB). Pengajuan  dapat dilakukan secara daring (online) melalui sistem online single submission (OSS).
Berdasarkan survey UKMC FEB UI mengenai UMKM dan digitalisasi pada 2020 yang melibatkan 1.200 responden, ternyata masih banyak pelaku UKM yang berpotensi kesulitan untuk mengakses OSS dan mengajukan NIB. Hal tersebut tidak terlepas dari demografi pelaku UKM yang sebagian di antaranya menjelang usia tidak produktif dan literasi digital yang kurang.
Menurut Zahra, 50% responden atau pemilik UKM masih berpendidikan sekolah menengah pertama (SMP), lalu 42% responden berpendidikan sekolah menengah atas (SMA), dan selebihnya mengenyam bangku kuliah, terutama strata diploma. Tingkat pendidikan pelaku UKM berkaitan dengan kecakapannya terhadap teknologi digital.
"Ini berkaitan dengan perizinan usaha yang menggunakan NIB, karena tentu saja untuk mengakses OSS itu pra UMK perlu memiliki literasi digital yang cukup baik," ujar Zahra.
Lalu, 60% responden merupakan pelaku UKM yang berusia di atas 40 tahun, sedangkan 40% responden atau pelaku UKM berusia di bawah 40 tahun. Menurut Zahra, porsi usia produktif yang lebih kecil membuat banyak pelaku UKM masih kesulitan dalam mengakses dan memahami teknologi digital.
"Ketika kita punya regulasi cukup bagus dari sisi kemudahan izin usaha, tetapi apabila UMKM-nya, terutama yang memiliki pendidikan rendah dan usia tidak terlalu produktif, itu akan menjadi kendala dalam mengakses izin usaha dan berbagai kemudahan dalam UU Cipta Kerja," ujarnya. (Dpri)

TERKAIT