Larangan Medsos untuk Berdagang, Legislator Dukung Tegaknya Prinsip Keadilan

Diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk 'Aturan Social Commerce dan Nasib UMKM' di Media Centeri Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (26/9/2023). (Foto: mediabintang.com)

MediaBintang.com, Jakarta- Pemerintah memutuskan melarang social e-commerce digunakan sebagai media bertransaksi langsung di platform media sosial. Keputusan diambil dalam rapat terbatas (ratas) yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/9/2023).


Keputusan tersebut menyusul lesunya produk UMKM dan produk dalam negeri yang dijual di pasar yang mengutamakan gerai maupun toko sebagai tempat berjualan. Kondisi terakhir adalah banyaknya toko-toko dan lapak yang tutup di Pasar Tanah Abang yang dikenal sebagai pusat jual beli pakaian terbesar se-Asia Tenggara karena imbas dari penggunaan medsos sebagai media bertransaksi.


Anggota Komisi VI DPR RI Amin AK mengatakan ada sisi positif dan negatif penggunaan medsos yang digunakan untuk ajang jual beli secara langsung di platform media sosial.


"Jadi kalau dari sudut pandang konsumen, sekarang memang diuntungkan dengan transaksi yang begitu mudah. Dapat barang secara mutu tidak terlalu mengecewakan dan kemudian harganya sangat murah, cara belanjanya juga praktis," ujar Amin AK diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk 'Aturan Social Commerce dan Nasib UMKM' di Media Centeri Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (26/9/2023).


Amin AK yang juga Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini mengakui ada pengaruh sangat berarti terhadap UMKM yang kebanyakan masih mengandalkan transaksi menggunakan cara konvensional.


Imbas dari persoalan ini, menurutnya karena medsos atau sosial e-commerce yang peruntukannya bertujuan sebagai situs pertemanan beralih fungsi untuk jual beli. Sehingga belum ada ketentuan peraturan perundangan yang mengaturnya.


Penggunaan medsos seperti TikTok dan platform medsos lainnya tersebut tidak terkena pajak dan syarat-syarat lain yang terbebas dari berbagai macam biaya. Sehingga barang yang dijual di medsos bisa murah, mudah diperoleh dan berbagai keuntungan lainnya.


Sementara, platform e-commerce yang memang diadakan untuk media jual beli harus dikenakan berbagai macam syarat termasuk pengenaan pajak.


"Saya pernah interupsi di rapat paripurna soal TikTok dan social e-commerce untuk jual beli ini. Kita bukan mempermasalahkan keberadaan e-comerce, tetapi yang kita masalahkan social e-commerce yang digunakan atau difungsikan untuk berjualan, berdagang. Ini kan tidak fair (adil)," tegas Amin AK.


Terkait larangan pemerintah ini, Amin AK mengakui keputusan tersebut menunjukan pemerintah hadir untuk menunjukkan keberpihakannya.


"Jadi pemerintah hadir dan menunjukkannya keberpihakan yang nyata kepada pelaku UMKM kita. Tentu bukan dengan melarang, yang melarang media sosial dijadikan sarana untuk jualan sepakat," ucap Amin AK.


Di forum sama, Anggota Komisi VI DPR Intan Fauzi mendukung langkah pemerintah membatasi peran medsos karena telah bergeser dari situs pertemanan menjadi alat transaksi perdagangan.


"Jadi intinya, revisi Permendag No 50/2020, kita harapkan bisa segera terbit dalam satu minggu ini," ucap Intan.


Pengaturan ketat terhadap penggunaan medsos, menurutnya harus dilakukan apalagi pengawasan terkait perusahaan-perusahaan yang tidak jelas. Bahkan, ada produsen merek tertentu kini juga ikut-ikutan melakukan transkasi di medsos. Mereka sengaja menfaatkan medsos untuk kegiatan transaksi perdagangan.


Tentunya kata Intan, ada ketidakadilan dalam persoalan itu. Pengaturan kegiatan perdagangan baru menyasar pada e-commerce dan beberapa perusahaan markerplace yang memang dibentuk untuk kegiatan perdagangan seperti shopee, Lazada, Blibli.com dan Tokopedia.


Sedangkan produsen yang melakukan transaksi di medsos dibolehkan ikut melakukan transaksi jual beli. "Kita mengenal Tokopedia, Shopee, Lazada dan sebagainya. Mereka memang marketplace, artinya mereka adalah pasar secara online dan di situ memang terjadi transaksi,” jelasnya.


Lebih jauh, Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) ini mengatakan saat ini juga berkembang ada startup atau disebut retail online yang juga memanfaatkan medsos untuk transaksi jual beli dan barang yang dperdagangkan adalah produk dari luar negeri.


"Kalau bicara commerce tentu perdagangan tapi platform-nya adalah platform sosial. Nah inilah yang kemudian menjadi masalah besar, karena memang yang dijual di sana itu barang-barang yang notabene, mayoritas adalah dari luar dan kita tidak akan bisa komplain," tegas Intan.


Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero mengungkapkan sejak 3 tahun lalu, pihaknya telah mengingatkan tentang pergeseran platform medsos yang awalnya sebagai media jejaring pertemanan kemudian beralih menjadi ajang jual beli yang bisa berdampaknya pada UMKM.

"Pergeseran antara belanja offline menuju ke belanja online, terjadi pergeseran. Dan saya sudah warning 3 tahun yang lalu kepada pelaku UMKM bersiaplah untuk masuk ke era berdagang yang baru online sistem. Suka atau tidak suka kita harus belajar migrasi ke situ. Karena kalau tidak kita akan kolaps," ungkap Edy.


Edy sependapat dengan pandangan banyak pihak bahwa pemerintah yang berwenang dalam membuat kebijakan atau regulasi harus menata persoalan ini, sehingga ada asas keadilan.


Edy mengakui dengan belanja langsung di medsos maka pengawasan menjadi sangat minim. Sehingga sangat mungkin barang-barang yang dijual di medsos ada kemungkinan barang ilegal, barang yang dijual tidak kena bea. "Pasti jadinya murah," tegas Edy.


Sementara itu, Praktisi Media Agus Eko Cahyono mengingatkan adanya peran ganda yang sedang dilakukan para perusahaan penyedia platform medsos. Di satu sisi sebagai sosial media, sebagai media jejaring pertemananan tetapi di sisi lain juga sebagai alat untuk transaksi perdagangan.


Eko, panggilan akrab Agus Eko Cahyono menduga ada upaya yang mengarah pada monopoli perdagangan yang dilakukan oleh perusahaan penyedia platform medsos.


"Ini memang arahnya mengarah kepada monopoli, itu yang dikhawatirkan.
Ini bisa menggerus e-commerce yang lain, terutama e-commerce produk lokal seperti bukalapak, blibli.com. Ini memang fenomena yang perlu diatur," tegas Eko.

TERKAIT